Selasa, 11 September 2012

Nasib Perawat Di Indonesia

 Beberapa hari surfing di internet dengan keyword nasib Perawat Indonesia mendapatkan hasil seperti di bawah ini, Sebelumnya mohon maaf bila ada yang tidak berkenan dengan artikel ini …

"Persaingan Dalam Area Profesionalisme"

Mudah-mudahan Anda yang membaca tulisan ini tidak tersinggung dan mendiskreditkan Profesi Perawat. Apa yang saya ungkapkan dibawah ini hanyalah suatu bentuk kesedihan untuk masa depan Profesi Perawat khususnya Perawat Profesional (S1 Keperawatan).

Sejak issue yang muncul tentang pembentukan S1 Keperawatan sampai saat ini dimana jumlah lulusan S1 Keperawatan yang mencapai jumlah cukup banyak di seluruh Propinsi dari Sabang sampai Merauke, belum menunjukkan adanya perubahan yang signifikan terhadap kesejahteraan Perawat.
Ketika saya praktek selama saya mahasiswa, saat itu saya berdiri dihalaman Rumah Sakit (RS) tersebut dan mencoba memfokuskan melihat area parkir. di situ saya lihat ada beberapa area parkir yang masih kosong sementara ditempat lain kendaraan roda dua dan roda empat bercampur bagaikan sayur dipasar.

Saya jadi heran, kenapa lahan yang kosong itu tidak di gunakan sebagai tempat parkir? Saya mencoba bertanya kepada Petugas parkir, dan menurutnya itu adalah lahan parkir khusus DOKTER. Saya jadi heran.. silahkan anda menganalisa sendiri.

Kemudian saya melihat beberapa orang Perawat berpakaian putih-putih berlarian turun dari mikrolet menuju ke RS tersebut, Saat itu hujan turun sangat lebat sehingga pakaian putih-putih yang menjadi ciri khas Perawat yang mereka pakai menjadi basah dan agak kotor. Terlihat dari raut wajah mereka, nampaknya mereka sudah lama bekerja sebagai Perawat. Saya jadi bertanya-tanya, kemana gaji mereka? Kenapa tdak beli motor saja? atau beli mobil? atau memang tidak mampu sama sekali membeli satu diantaranya?

Beberapa menit kemudian, Tampak sebuah mobil mewah (kalau tidak salah mereknya Kijang Inova) memasuki pelataran RS dan memakirkan mobilnya di area parkir yang kosong tadi dan terlindungi oleh atap seng. kemudian dengan santai Si Empunya mobil keluar dengan santai tanpa takut terkena air hujan. Dari raut wajahnya terlihat masih sangat muda, Kemungkinan besar beliau baru sekitar 1 - 2 tahun bekerja sebagai seorang Dokter.

Ini jadi tanda tanya besar bagi saya.
  • PERAWAT = Angkutan umum.
  • DOKTER = Mobil pribadi.

Tentunya anda berfikir bahwa hal itu adalah suatu kewajaran karena gaji Dokter lebih besar dibandingkan Perawat. Ya, kenyataannya itu memang benar.

Sekarang coba kita lihat perbandingan waktu dinas Perawat VS Dokter:
  • Perawat –> Dinas Pagi:8 jam, Dinas Sore:8 jam, Dinas Malam: 8 jam. Jadi total jam kerja Perawat adalah 24 jam.
  • Dokter –> dari jam. 08.00-13.00

Mungkin itu belum bisa memberikan gambaran yang jelas. Nah sekarang coba kita lihat gambaran tentang tanggung jawab / tindakan di RS : Perawat: 90% sedankan Dokter : 10%

Saya coba memberikan beberapa gambaran pekerjaan perawat yang seharusnya dilakukan oleh dokter:
  1. Pasang Infus
  2. Pasang Kateter
  3. Injeksi
  4. Skin Traksi
  5. Pasang NGT
  6. Oksigenasi
  7. Hecting
  8. dan masih banyak yang lainnya lagi…

Untuk tindakan medis tersebut, ada biaya yang dialokasikan dari pembayaran pasien. Namun yang terjadi adalah entah di seluruh RS atau beberapa RS, yang menerima kompensasi tersebut adalah Dokter yang nota benenya bukan Dokter yang melakukan tindakan tersebut.

Hal ini jadi pertanyaan, konpensasi tersebut untuk Perawat atau Dokter??? (kasihan banget Perawat). Mau mengadu kemana?? Direktur RS nya siapa?? DOKTER, yang duduk di wakil rakyat?? di dominasi oleh DOKTER. Perawat ga kebagian donk...

Kalau dipikir-pikir, memang Perawat hari ini masih sangat mengenaskan, lebih buruk dari seekor keledai. Lebih parahnya lagi masih ada beberapa orang perawat yang menjilat di kaki dokter mengharapkan imbalan walau cuman sepeser, Makanya Perawat semakin di injak, di pelintir bahkan di ludahi oleh profesi lain karena kebodohannya.

Saya sendiri sebagai seorang Perawat, malah malu jika di panggil Perawat, karena Perawat hari ini sudah menempati posisi teratas untuk citra terburuknya. Ada juga yang dengan bangganya karena telah memiliki gelar NERS merasa dirinya sudah hebat, mendiskriminasikan Perawat D3. Padahal intinya kita sama, yaitu sama-sama Perawat. Hal tersebut terbukti bahwa di rumah sakit kita mempunyai nama panggilan yang sama yaitu "PERAWAT".

Sekarang saatnya kita semua saling merangkul tanpa memandang SPK, D3, D4, S1, S2, S3, bahkan profesor sekalipun. Kita semua sama, PERAWAT.

Saat ini sebaiknya kita sama-sama mendoakan agar UU Keperawatan dapat segera di syahkan agar terjadi perubahan yang kita harapkan sesuai dengan isi UU tersebut. Tanggal 12 Mei yang baru berlalu ini, mari kita jadikan sebagai langkah awal perjuangan kita yang hampir ambruk beberapa saat yang lalu. Kita perlu menyadari bahwa perjuangan tidak akan pernah berhasil tanpa adanya PERSATUAN…..!!!!!!!!

Antara Perawat Dan Dokter

Pengalaman yang pernah saya alami   adalah ditanya “Perawat itu kerjanya ngapain ya?”. Teman saya juga pernah ditanya, “Kuliah di keperawatan kalau lulus jadi dokter atau bidan?”. Ada juga yang berfikir, “Setelah lulus dari keperawatan nanti bisa nglanjutin di kedokteran (S2 maksudnya) dan jadi dokterkan?”. Pertanyaan diatas masih sering ditanyakan di masyarakat. Kami sebagai bagian dari profesi keperawatan (yang saat ini posisi kami masih sebagai mahasiswa) merasa miris dengan kenyataan ini. Oleh karena itu hal ini menjadi salah satu tanggung jawab kami sebagai mahasiswa keperawatan untuk memberikan penjelasan atau gambaran tentang profesi perawat/nurse.

Perawat adalah sebuah profesi, dimana sebuah pekerjaan akan disebut profesi maka mempunyai syarat,  beberapa diantaranya: kode etik, mempunyai organisasi profesi, mempunyai body of knowledge, diperoleh melalui pendidikan formal. Begitu juga perawat, mempunyai kode etik keperawatan, mempunyai organisasi profesi (di Indonesia PPNI), diperoleh melalui pendidikan formal, mempunyai body of knowledge, dan lain-lain. Jenjang pendidikannya mulai dari SPK (sekarang sudah dihapus), D3, D4, S1 Keperawatan, S2 Keperawatan dan Spesialis (Keperawatan Komunitas; Keperawatan Jiwa; Keperawatan Maternitas; Keperawatan Medikal Bedah; Keperawatan Keluarga; Keperawatan Gerontik; Keperawatan Gawat Darurat; Keperawatan Anak), dan S3. Untuk di Indonesia baru ada sampai jenjang S2 dan Spesialis (Keperawatan Komunitas; Keperawatan Jiwa; Keperawatan Maternitas; Keperawatan Medikal Bedah; Keperawatan Gawat Darurat; Keperawatan Anak).

Perawat dapat berperan sebagai pendidik, peneliti, advokat, pelaksana. Pendidik disini dapat sebagai dosen maupun ketika perawat memberikan penddikan kesehatan kepada klien. Peneliti yaitu mengadakan penelitian untuk mengembangkan ilmu dan praktik keperawatan. Advokat yaitu ketika membantu klien untuk mendapatkan hak-hak klien (seperti mendapat info tentang ASKESKIN; obat yang sesuai jangkauan ekonomi klien; pengobatan atau perawatan atau terapi yang sesuai). Pelaksana yaitu perawat yang bekerja memberikan asuhan keperawatan misalnya di tempat peayanan kesehatan seperti rumah sakit, dll.

Seorang perawat adalah profesi yang diharapkan selalu care (peduli) terhadap klien (pasien yang tidak hanya sebagai objek, tapi juga subjek yang ikut menentukan keputusan akan pengobatan/terapi/perawatan terhadap dirinya dan terlibat secara aktif). Seorang perawat memandang seseorang klien secara holistik/menyeluruh. Perawat tidak memandang klien hanya sebagai individu yang sedang sakit secara fisik/bio, tetapi juga memperhatikan kondisi mental/psikis/kejiwaan, sosial, spiritual, dan cultural. Oleh karena itu, untuk memberikan asuhan keperawatan, seorang perawat harus mengkaji aspek yang holistik tersebut (bio, psiko, sosio, spiritual, dan cultural). Dan asuhan yang dilakukan perawat adalah memberikan perawatan, sedangkan dokter adalah mengobati.

Salah satu contohnya adalah misalnya klien mengalami batuk. Maka sesuai profesinya, yang dilakukan dokter ke klien ini adalah memberikan obat batuk (misalnya dextral). Sedangkan yang dilakukan perawat atau asuhan keperawatannya adalah mengatasi masalah keperawatan apa yang timbul akibat batuk yang dialami klien tersebut dengan cara melakukan pengkajian terlebih dahulu, seperti: kapan mulai batuk, terus-menerus atau waktu-waktu tertentu, berdahak atau tidak, jika berdahak perlu dikaji apakah klien bisa mengeluarkan dahaknya, seperti apa dahaknya (jumlah, warna, konsistensi), apakah pernapasan klien terganggu, bagaimana pola napasnya, apakah aktivitas klien terganggu, jika ya maka perlu dikaji aktivitas seperti apa yang terganggu.

Jika klien batuk dan dahaknya sulit keluar, maka perawat mengajarkan cara bagaimana batuk yang efektif untuk mengeluarkan dahaknya atau dengan memberikan fisioterapi dada maupun suction jika masih banyak dahak yang menumpuk di saluran pernapasan atau paru-paru. Jika klien sulit bernapas, perawat menganjurkan klien untuk tidur dengan posisi tubuh bagian kepala-dada lebih tinggi daripada panggul-kaki (posisi semi fowler). Selain itu, perawat juga mengkaji perasaan klien. Jika klien mengalami kecemasan/ansietas, maka hal ini juga perlu diatasi perawat.

Contoh lainnya yaitu misalnya klien mengalami mual dan muntah. Dokter akan memberikan obat anti emetik untuk mengatasi masalah ini. Sedangkan asuhan keperawatan yang dilakukan perawat adalah mengatasi akibat dari mual muntah ini, seperti: memenuhi kebutuhan nutrisi untuk mengantikan nutrisi yang keluar saat muntah dan mencegah kurangnya nutrisi pada klien; memehuhi kebutuhan cairan (air, elektrolit) untuk menggantikan cairan yang keluar tubuh dan mencegah terjadinya dehidrasi. Perawat juga perlu mengkaji perasaan klien dan mengatasi jika ada masalah dengan psikologisnnya.

Untuk kedepannya (yang akan dituju), keperawatan tidak hanya berfokus pada pelayanan kesehatan (di rumah sakit, poliklinik, Puskesmas, dan penyedia pelayanan kesehatan lain) namun keperawatan yang berbasis komunitas (baik komunitas secara keseluruhan di suatu wilayah tertentu, agregat/kelompok usia tertentu, keluarga, maupun gerontik/lansia). Dengan sistem yang seperti ini (berbasis komunitas), perawat tidak hanya duduk di tempat pelayanan kesehatan menunggu datangnya klien atau merawat klien yang sudah ada di tempat pelayanan kesehatan, tetapi juga melakukan pengkajian ke masyarakat/komunitas (ke komunitas itu sendiri, agregat, keluarga, gerontik) untuk mengetahui masalah kesehatan yang sedang dialami, faktor  risiko dan   penyakit yang akan muncul akibat risiko tersebut, serta pendidikan kesehatan (seperti penyuluhan tentang DBD, Flu Burung, Hipertensi/darah tinggi, penyakit Gula/Diabetes Mellitus, dan lain-lain).

Pada sistem perawatan berbasis komunitas, perawat bekerjasama dengan berbagai pihak, seperti: tim kesehatan lain, kader kesehatan wilayah setempat (wilayah yang dikaji), pemerintahan setempat, SDM yang ada diwilayah setempat untuk diberdayakan kemampuannya (empowerment), dinas Kesehatan setempat, dinas Kebersihan dan Tata kota, dan lain-lain. Hal ini akan bermanfaat untuk pendeteksian jumlah penderita penyakit tertentu yang tidak memeriksakan kesehatannya ke pelayanan kesehatan, pendeteksian faktor risiko dan penyakit yang akan ditimbulkan, serta yang paling penting adalah menjadi salah satu solusi untuk mengatasi masalah kesehatan yang ada di Indonesia karena disini upaya promotif maupun preventif/pencegahan terhadap masalah kesehatan lebih optimal secara kuantitas dan waktu (karena lebih awal) daripada di sektor lain (klinik/penyedia pelayanan kesehatan).  Harapannya, sistem berbasis komunitas ini mendapat persetujuan, dukungan serta kerjasama dari berbagai pihak dan dapat terlaksana di seluruh wilayah yang ada di Indonesia.

Ayo wujudkan masyarakat Indonesia sehat bersama Perawat!

Perlunya Undang-undang Keperawatan di Indonesia

Perlunya Undang-undang Keperawatan di Indonesia

Dalam dunia pelayanan kesehatan di Indonesia, banyak profesi yang berkontribusi didalamnya, dimana tujuan akhir yang ingin dicapai adalah Indonesia sehat 2025. Semua profesi tadi bekerja bersama-sama sesuai dengan keahlian dan kewenangan masing-masing, termasuk di dalamnya adalah profesi perawat. Perawat memiliki kontribusi yang cukup besar dalam pemberian jasa pelayanan kesehatan, karena perawat memiliki waktu yang cukup panjang dalam berinteraksi dengan pasien (selama 24 jam) dan menempati urutan pertama dari segi jumlah tenaga dalam suatu institusi pelayanan kesehatan. Sudah sewajarnya jika profesi perawat menginginkan sebagai profesi yang harus diperhatikan keberadaannya dan diperhitungkan jasa yang sudah mereka lakukan kepada masyarakat, salah satunya adalah dengan dibentuknya profesional act atau undang-undang keperawatan.
Saat ini profesi perawat Indonesia sedang memperjuangkan disahkannya rancangan Undang Undang Keperawatan yang sedang dibahas oleh Komisi IX DPR, dimana undang-undang yang sudah dibuat ini bukan saja untuk melindungi profesi perawat dalam melakukan tugasnya, akan tetapi juga melindungi klien sebagai konsumen pelayanan keperawatan.
Banyak kasus yang terjadi di masyarakat terutama didaerah terpencil, bahwa tenaga kesehatan yang bersedia dan dengan tulus ikhlas membantu masyarakat dalam mengatasi masalah kesehatannya adalah perawat. Mereka terjun langsung ke lapangan dengan ilmu dan ketrampilan yang mereka miliki, tapi belum ada kebijakan publik yang secara nyata melindungi mereka dalam menjalankan tugasnya. Kebijakan yang sudah ada baru pada tingkat peraturan menteri yaitu Permenkes RI nomor HK 02.02/MENKES/148/2010 tentang izin dan penyelenggaraan praktik keperawatan. Kebijakan ini belum kuat untuk mengatur profesi perawat, diperlukan peraturan publik yang lebih tinggi untuk mengaturnya, yaitu Undang-Undang Keperawatan.
Alasan perlunya UU Keperawatan di Indonesia adalah : pertama sebagai suatu profesi yang mandiri, organisasi keperawatan memiliki kewenangan mengatur kehidupan profesi sendiri (yaitu di bidang pendidikan, penelitian dan pelayanan keperawatan). Untuk kuatnya pengaturan yang dimaksud, badan yang bertanggung jawab menetapkan peraturan profesi harus diatur dalam undang-undang; kedua untuk mencegah dampak negatif dari perdagangan bebas bidang jasa, karena sekarang ini perawat dari luar negeri sudah boleh bekerja di Indonesia; ketiga adalah untuk mengejar ketinggalan dari luar negeri, karena di luar negeri profesi perawat sudah memiliki UU Keperawatan sendiri; keempat untuk memenuhi amanat peraturan perundangan; kelima adalah kelangkaan peraturan perundangan terkait dengan profesi keperawatan itu sendiri dan yang ke enam adalah bahwa jumlah tenaga perawat yang besar dan peranan perawat penting dalam pelayanan kesehatan di Indonesia.
Dari sisi hukum ketatanegaraan, produk hukum negara berupa peraturan tertinggi tentang keperawatan baru berada pada level keputusan/peraturan menteri, yaitu Permenkes RI nomor HK 02.02/Menkes/148/2010. Sementara menurut undang-undang nomor 10 tahun 2004, peraturan menteri tidak termasuk dalam hirarki hukum yang berlaku di negara kita. Artinya perawat dalam menjalankan tugas kemanusiaannya tidak dilindungi oleh aturan/payung hukum yang kuat. Selama ini keperawatan diatur hanya sebagai aksesori dalam peraturan terkait tenaga kesehatan.
Hal ini tidak bisa dibiarkan berlanjut, perlu diatur secara khusus lewat UU. Keperawatan disebut sebagai sebuah profesi karena sudah memiliki body of knowledge, standar praktik, kode etik, dan sistem pendidikan tinggi keperawatan hingga program doktor. Profesi perawat perlu memiliki UU agar terlindungi dalam menjalankan tugas-tugasnya. Selain itu juga UU Keperawatan yang ada akan melindungi masyarakat pengguna jasa pelayanan keperawatan. UU Keperawatan dapat mengatur hal yang mana saja boleh atau tidak boleh dilakukan oleh seorang perawat, kompetensi apa yang harus dimiliki oleh perawat yang akan melakukan suatu tindakan tertentu.
Selama tidak ada UU Keperawatan, bagaimana mungkin masyarakat bisa memperoleh pelayanan keperawatan dengan standar berkualitas kalau para perawat itu sendiri tidak dikelola oleh negara secara benar dan baik. Oleh karena itu, Undang-Undang Keperawatan sangat penting bagi peningkatan derajat kesehatan masyarakat. Pengelolaan keperawatan melalui UU Keperawatan tersebut tidak hanya pada aspek praktik, tetapi juga pada aspek lain seperti pendidikan, penelitian, dan pengembangan keilmuan keperawatan. Jika telah ada UU Keperawatan, masyarakat akan dilayani oleh perawat yang teruji kompetensinya.
Bisa disimpulkan mengapa UU Keperawatan perlu diperjuangkan dan betapa pentingnya UU Keperawatan bagi bangsa Indonesia. Selain itu dilihat dari sisi harkat dan martabat bangsa dalam kancah pergaulan internasional, UU Keperawatan ini sangat penting karena dilihat dari wilayah Asia Tenggara saja hanya lima negara yang tidak memiliki UU Keperawatan. Negara tersebut adalah Indonesia, Timor Leste, Laos, Kamboja dan Vietnam. Bisa diartikan bahwa Negara RI yang sudah merdeka lebih dari 65 tahun, tapi pada kenyataannya tidak lebih maju daripada negara-negara yang baru merdeka tersebut.
Daftar Pustaka :
1. Azwar, Azrul. 2012. Rancangan UU Keperawatan. Bahan Kuliah, tidak dipublikasikan.
2. Dunn, N. William, 2003. Analisis kebijakan publik (Muhajir Darwin, penerjemah). Yogyakarta : Hanindita Graha Widia.
3. Howlett, M & Ramesh, M, 1995. Studying public policy: policy cycless and policy subsistems. Oxford University Press
4. Permenkes RI nomor HK 02.02/Menkes/148/2010. Izin penyelenggaraan praktik keperawatan. Di unduh tanggal 25 Maret 2012.http://www.gizikia.depkes.go.id.
5. Zainal, Said A, 2006. Kebijakan publik. Jakarta: Suara Bebas

BAGAIMANA NASIB UU KEPERAWATAN??

     Bagaimana Nasib UU Keperawatan





Dalam rangka hari keperawatan sedunia (International Nurse Day) yang jatuh pada tanggal 12 Mei, saya ingin rasanya sedikit memberikan tulisan tentang Nasib UU Keperawatan. Sudah lama kita mendengar tentang UU Keperawatan, bahkan kita mendengar saat kita duduk dibangku perkuliahan!ya bener UU Keperawatan sudah diwacanakan semenjak 20 tahun yang lalu akan tetapi mulai masuk program legislasi nasional DPR pada tahun 2004. Pertanyaan yang sampai ini adalah kenapa tidak segera di sahkan??? ada apa denganMu UU Keperawatan? mirip kayak lagu ja, sudah saatnya kita sebagai perawat mengkritisi permasalahan ini jangan kita sebagai perawat tidak mempunyai kelegalan tentang profesi yang kita lakukan. Perawat menjadi ujung tombak dalam memberikan pelayanan kesehatan bagi masyarakat. Karena itu, perawat harus mampu memberikan pelayanan terbaik untuk menunjang pelayanan kesehatan serta para perawat harus memberikan pelayanan yang aman dan profesional, berkinerja tinggi serta peduli pada pasien. Ini bisa mengurangi beban psikologis pasien. Tetapi jika sampai saat ini UU Keperawatan belum disahkan nasib kita para perawat seperti halnya buruh karena tidak ada perlindungan hukum yang kuat dalam pelayanan kesehatan yang berkualitas, lantas bagaiman peran pemerintah dalam menuntaskan permasalahan ini?? apa kita hanya tinggal diam saja? tentu tidak banyak aksi- aksi yang telah dilakukan mulai dari aksi mahasiswa sampai aksi yang dilakukan oleh organisasi kita perawat yaitu PPNI tapi hasilnya NOL, tidak ada tanggapan sedikitpun mengenai pengesahan UU Keperawatan sementara undang-undang tersebut mempunyai peran vital sebagai landasan hukum tertinggi praktek keperawatan di Indonesia.

Bagaimana kita bisa menciptakan Indonesia Sehat 2015? jika masih banyak kendala- kendala yang harus dihadapi oleh tenaga kesehatan saat ini. Disin saya mencoba mengupas sedikit tentang kendala yang dihadapi oleh seorang perawat, kendala utama selama ini terhadap tenaga perawat adalah belum adanya pengakuan secara utuh terhadap asuhan keperawatan. Untuk itu dalam RUU keperawatan tersebut harus mengakui tentang adanya pelayanan asuhan keperawatan yang dibutuhkan masyarakat. Selama ini yang dihadapi perawat dalam menjalankan asuhan keperawatan adalah belum adanya peraturan perundangan yang mengatur dengan tegas tentang keperawatan dan wewenang perawat dalam melakukan tindakan keperawatan. Hal ini seringkali menimbulkan masalah karena bisa saja perawat melakukan tindakan keperawatan yang bukan merupakan kewenangannya. Sejauh ini upaya yang dilakukan PPNI hanyalah pada tahap melakukan sosialisasi tentang peraturan perundang-undangan yang berlaku saat ini. Serta memberikan masukan-masukan dengan memberikan penjelasan dan penjabaran sesuai dengan standar praktik dan standar pelayanan keperawatan. Sementara dukungan pemerintah terhadap tenaga perawat sejauh ini sebenarnya sudah ada khususnya dalam menetapkan kebijakan yang berkaitan dengan peningkatan dan pengembangan mutu SDM perawat di tatanan pelayanan kesehatan. Belum adanya UU ini mengakibatkan berbagai macam permasalahan seperti belum adanya otonomi perawat untuk menjalankan praktek profesional mandiri, belum adanya nursing council yang turut berdampak pada praktek keperawatan yang berbeda dari tiap daerah yang satu dengan yang lainnya. Sebagai contoh adalah perawat yang melakukan tindakan medis, disatu daerah ia diberi hukuman karena dianggap menyalahi aturan/wewenang, sementara didaerah lain malah mendapat award karena telah menyelamatkan nyawa pasien. Hal-hal semacam ini tentunya harus segera diselesaikan dan salah satunya adalah melalui UU Keperawatan yang harus didukung seluruh perawat di Indonesia.
Sebenarnya kita sebagai tenaga medis khususnya perawat sudah dijamin dalam UUD 1945. Kita harus memperhatikan tenaga kesehatan  dengan baik, jika tidak berarti kita tidak mengindahkan apa yang diamanatkan UUD 1945, dan juga dalam UU No 29 tahun 2004 dijelaskan tentang komposisi tugas perawat, bidan dan petugas kesehatan lainnya, akan tetapi semua itu masih belum cukup. Oleh karena itu kembali pada judul diatas Bagaimana Nasib UU Keperawatan? Mari kita bersama- sama memperjuangkan UU Keperawatan tersebut sampai diketok dimeja DPR, jangan sampai kita tidak mempunyai legalitas tentang profesi kita. Memang sulit rasanya tapi mengapa kita tidak mencoba dimulai dari diri kita dengan menunjukkan profesionalitas kita kepada teman2 sejawat, bagaimana kita bisa memecahkan permasalahan/ penyakit yang diderita oleh seorang pasien dengan menggunakan pedekatan ilmu keperawatan yang kita punyai dengan rasionalnya. Jangan sampai profesi kita yang mulia ini menjadi rendah dimata profesi lain dikarenakan ulah kita sendiri yang tidak profesional, sehingga banyak menimbulkan pertanyaan dan keraguan dalam  diri orang lain terhadap kita. Mari kita bersama- sama meningkatkan kapasitas keilmuan dan keintelektualan kita dengan meningkatkan kapasitas keilmuan, kita tidak akan merasa tertinggal dengan teman- teman sejawat dan kita bisa profesional dalam menjalankan tugas kita yang mulia.

Oleh karena itu dihari perawat sedunia ini saya mengajak kepada seluruh teman- teman sejawat di keperawatan untuk besikap yang lemah lembut kepada pasien- pasien kita jangan sampai kita dikatakan sebagai perawat yang judes sehingga paradigma yang muncul dikalangan masyarakat tentang perawat judes sudah mulai hilang, jangan nodai pekerjaan yang mulia ini dengan selentingan- selintingan dari masyarakat kita. Mari kita mulai dari kita sendiri untuk MENG-GOLKAN UU Keperawatan, tunjukkan sikap profesionalitas kita sebagai seorang perawat. Kata yang terkahir yang ingin saya tekankan dan mulai tertanam dalam jiwa uteman- teman se profesi bahwa “SAYA BANGGA MENJADI SEORANG PERAWAT”, mari kita berikan yang terbaik buat bangsa kita ini sehingga bisa terwujudnya Indonesia sehat 2015 dan memulai dengan senyum yang manis, sapa yang ramah, sentuh dengan kasih, serta tanggap terhadap pasien kita. Semoga perawat Indonesia semakin maju dan senantiasa menunjukan prefesionalitas dan etos kerja yang tinggi dalam mendarmabaktikan diri dan profesinya untuk bangsa dan negara.
“HIDUP PERAWAT INDONESIA, UU KEPERAWATAN HARUS SEGERA DISAHKAN”

Kamis, 06 September 2012

ETIOLOGI DAN PENANGANAN GASTRITIS / Maag

ETIOLOGI DAN PENANGANAN GASTRITIS

Alexandrio/ Charles Galung

1        Pengertian Gastritis
Gastritis berasal dari kata gaster yang artinya lambung dan itis yang berarti inflamasi/peradangan. Menurut Hirlan dalam Suyono (2001: 127), gastritis adalah proses inflamasi pada lapisan mukosa dan submukosa lambung, yang berkembang bila mekanisme protektif mukosa dipenuhi dengan bakteri atau bahan iritan lain. Secara hispatologi dapat dibuktikan dengan adanya infiltrasi sel-sel. Sedangkan, menurut Lindseth dalam Prince (2005: 422), gastritis adalah suatu keadaan peradangan atau perdarahan mukosa lambung yang dapat bersifat akut, kronis, difus, atau lokal.
Gastritis adalah suatu peradangan mukosa lambung paling sering diakibatkan oleh ketidakteraturan diet, misalnya makan terlalu banyak dan cepat atau makan makanan yang terlalu berbumbu atau terinfeksi oleh penyebab yang lain seperti alkohol, aspirin, refluks empedu atau terapi radiasi (Brunner, 2000 : 187).
Dari defenisi-defenisi di atas, dapat disimpulkan bahwa gastritis adalah suatu peradangan atau perdarahan pada mukosa lambung yang disebabkan oleh faktor iritasi, infeksi, dan ketidakteraturan dalam pola makan, misalnya telat makan, makan terlalu banyak, cepat, makan makanan yang terlalu banyak bumbu dan pedas. Hal tersebut dapat menyebabkan terjadinya gastritis.
Gastritis berarti peradangan mukosa lambung. Peradangan dari gastritis dapat hanya superficial atau dapat menembus secara dalam ke dalam mukosa lambung, dan pada kasus-kasus yang berlangsung lama menyebabkan atropi mukosa lambung yang hampir lengkap. Pada beberapa kasus, gastritis dapat menjadi sangat akut dan berat, dengan ekskoriasi ulserativa mukosa lambung oleh sekresi peptik lambung sendiri (Guyton, 2001).
Secara garis besar, gastritis dapat dibagi menjadi beberapa macam berdasarkan pada manifestasi klinis, gambaran hispatologi yang khas, distribusi anatomi, dan kemungkinan patogenesis gastritis. Didasarkan pada manifestasi klinis, gastritis dapat dibagi menjadi akut dan kronik. Harus diingat, bahwa walaupun dilakukan pembagian menjadi akut dan kronik, tetapi keduanya tidak saling berhubungan. Gastritis kronik bukan merupakan kelanjutan gastritis akut (Suyono, 2001).
1.1  Gastritis Akut
Gastritis akut merupakan penyakit yang sering ditemukan, biasanya bersifat jinak dan sembuh sempurna (Prince, 2005: 422). Gastritis akut terjadi akibat respons mukosa lambung terhadap berbagai iritan lokal. Inflamasi akut mukosa lambung pada sebagian besar kasus merupakan penyakit yang ringan.
Bentuk terberat dari gastritis akut disebabkan oleh mencerna asam atau alkali kuat, yang dapat menyebabkan mukosa menjadi ganggren atau perforasi. Pembentukan jaringan parut dapat terjadi yang mengakibatkan obstruksi pylorus (Brunner, 2000).
Salah satu bentuk gastritis akut yang manifestasi klinisnya dapat berbentuk penyakit yang berat adalah gastritis erosif atau gastritis hemoragik. Disebut gastritis hemoragik karena pada penyakit ini akan dijumpai perdarahan mukosa lambung dalam berbagai derajat dan terjadi drosi yang berarti hilangnya kontinuitas mukosa lambung pada beberapa tempat, menyertai inflamasi pada mukosa lambung tersebut (Suyono, 2001: 127).
1.1.1  Gastritis Akut Erosif
Menurut Hirlan dalam Suyono (2001: 127), gastritis akut erosif adalah suatu peradangan permukaan mukosa lambung yang akut dengan kerusakan-kerusakan erosi. Disebut erosi apabila kerusakan yang terjadi tidak lebih dalam dari pada mukosa muskularis. Penyakit ini dijumpai di klinik, sebagai akibat efek samping dari pemakaian obat, sebagai penyulit penyakit-penyakit lain atau karena sebab yang tidak diketahui.
Perjalanan penyakitnya biasanya ringan, walaupun demikian kadang-kadang dapat menyebabkan kedaruratan medis, yakni perdarahan saluran cerna bagian atas. Penderita gastritis akut erosif yang tidak mengalami pendarahan sering diagnosisnya tidak tercapai (Suyono, 2001).
Untuk menegakkan diagnosis tersebut diperlukan pemerisaan khusus yang sering dirasakan tidak sesuai dengan keluhan penderita yang ringan saja. Diagnosis gastritis akut erosif, ditegakkan dengan pemeriksaan endoskopi dan dilanjutkan dengan pemeriksaan histopatologi biopsi mukosa lambung (Suyono, 2001).
2.1.1.2  Gastritis Akut Hemoragik
Ada dua penyebab utama gastritis akut hemoragik; Pertama diperkirakan karena minum alkohol atau obat lain yang menimbulkan iritasi pada mukosa gastrik secara berlebihan (aspirin atau NSAID lainnya). Meskipun pendarahan mungkin cukup berat, tapi pendarahan pada kebanyakan pasien akan berhenti sendiri secara spontan dan mortalitas cukup rendah. Kedua adalah stress gastritis yang dialami pasien di Rumah Sakit, stress gastritis dialami pasien yang mengalami trauma berat berkepanjangan, sepsis terus menerus atau penyakit berat lainnya (Suyono, 2001).
Erosi stress merupakan lesi hemoragika pungtata majemuk pada lambung proksimal yang timbul dalam keadaan stress fisiologi parah dan tak berkurang. Berbeda dengan ulserasi menahun yang lebih biasa pada traktus gastrointestinalis atas, ia jarang menembus profunda ke dalam mukosa dan tak disertai dengan infiltrasi sel radang menahun. Tanpa profilaksis efektif, erosi stress akan berlanjut dan bersatu dalam 20% kasus untuk membentuk beberapa ulserasi yang menyebabkan perdarahan gastrointestinalis atas dari keparahan yang mengancam nyawa. Keadaan ini dikenal sebagai gastritis hemoragika akuta (Sabiston, 1995: 525).
1.2  Gastritis Kronik
Disebut gastritis kronik apabila infiltrasi sel-sel radang yang terjadi pada lamina propria dan daerah intra epitelial terutama terdiri atas sel-sel radang kronik, yaitu limfosit dan sel plasma. Gastritis kronis didefenisikan secara histologis sebagai peningkatan jumlah limfosit dan sel plasma pada mukosa lambung. Derajat paling ringan gastritis kronis adalah gastritis superfisial kronis, yang mengenai bagian sub epitel di sekitar cekungan lambung. Kasus yang lebih parah juga mengenai kelenjar-kelenjar pada mukosa yang lebih dalam, hal ini biasanya berhubungan dengan atrofi kelenjar (gastritis atrofi kronis) dan metaplasia intestinal (Chandrasoma, 2005 : 522).
Sebagian besar kasus gastritis kronis merupakan salah satu dari dua tipe, yaitu tipe A yang merupakan gastritis autoimun yang terutama mengenai tubuh dan berkaitan dengan anemia pernisiosa; dan tipe B yang terutama meliputi antrum dan berkaitan dengan infeksi Helicobacter pylori. Terdapat beberapa kasus gastritis kronis yang tidak tergolong dalam kedua tipe tersebut dan penyebabnya tidak diketahui (Chandrasoma, 2005 : 522).
Gastritis kronik dapat dibagi dalam berbagai bentuk tergantung pada kelainan histologi, topografi, dan etiologi yang menjadi dasar pikiran pembagian tersebut (Suyono, 2001).
Menurut Hirlan dalam Suyono (2001: 128), klasifikasi histologi yang sering digunakan membagi gastritis kronik menjadi :
1.             Gastritis kronik superficial
Apabila dijumpai sebukan sel-sel radang kronik terbatas pada lamina propria mukosa superfisialis dan edema yang memisahkan kelenjar-kelenjar mukosa, sedangkan sel-sel kelenjar tetap utuh. Sering dikatakan gastritis kronik superfisialis merupakan permulaan gastritis kronik.
2.             Gastritis kronik atrofik
Sebukan sel-sel radang kronik menyebar lebih dalam disertai dengan distorsi dan destruksi sel kelenjar mukosa lebih nyata. Gastritis atrofik dianggap sebagai kelanjutan gastritis kronik superfisialis.
3.             Atrofi lambung
Atrofi lambung dianggap merupakan stadium akhir gastritis kronik. Pada saat itu struktur kelenjar menghilang dan terpisah satu sama lain secara nyata dengan jaringan ikat, sedangkan sebukan sel-sel radang  juga menurun. Mukosa menjadi sangat tipis sehingga dapat menerangkan mengapa pembuluh darah menjadi terlihat saat pemeriksaan endoskopi.
4.             Metaplasia intestinal
Suatu perubahan histologis kelenjar-kelenjar mukosa lambung menjadi kelenjar-kelenjar mukosa usus halus yang mengandung sel goblet. Perubahan-perubahan tersebut dapat terjadi secara menyeluruh pada hampir seluruh segmen lambung, tetapi dapat pula hanya merupakan bercak-bercak pada beberapa bagian lambung.
Menurut Hirlan dalam Suyono (2001: 129), distribusi anatomis pada gastritis kronik dapat dibagi menjadi tifa bagian, yaitu :
1.             Gastritis Kronis Tipe A
Gastritis kronis tipe A merupakan suatu penyakit autoimun yang disebabkan oleh adanya autoantibodi terhadap sel parietal kelenjar lambung dan faktor intrinsik, dan berkaitan dengan tidak adanya sel parietal dan chief cell, yang menurunkan sekresi asam dan menyebabkan tingginya kadar gastrin. Dalam keadaan sangat berat, tidak terjadi produksi faktor intrinsik. Anemia pernisiosa seringkali dijumpai pada pasien karena tidak tersedianya faktor intrinsik untuk mempermudah absorpsi vitamin B12 dalam ileum (Prince, 2005: 423).
Jadi, anemia pernisiosa itu disebabkan oleh kegagalan absorpsi vitamin B12 karena kekurangan faktor intrinsik akibat gastritis kronis autoimun. Autoimunitas secara langsung menyerang sel parietal pada korpus dan fundus lambung yang menyekresikan faktor intrinsik dan asam (Chandrasoma, 2005 : 522).
Reaksi autoimun bermanifestasi sebagai sebukan limfo-plasmasitik pada mukosa sekitar sel parietal, yang secara progresif berkurang jumlahnya. Netrofil jarang dijumpai dan tidak didapati Helicobacter pylori. Mukosa fundus dan korpus menipis dan kelenjar-kelenjar dikelilingi oleh sel mukus yang mendominasi. Mukosa sering memperlihatkan metaplasia intestinal yang ditandai dengan adanya sel goblet dan sel paneth. Pada stadium akhir, mukosa menjadi atrofi  dan sel parietal menghilang (gastritis kronis tipe A) (Chandrasoma, 2005 : 522).
2.             Gastritis Kronis Tipe B
Gastritis kronis tipe B disebut juga sebagai gastritis antral karena umumnya mengenai daerah antrum lambung dan lebih sering terjadi dibandingkan dengan gastritis kronis tipe A. Gastritis kronis tipe B lebih sering terjadi pada penderita yang berusia tua. Bentuk gastritis ini memiliki sekresi asam yang normal dan tidak berkaitan dengan anemia pernisiosa. Kadar gastrin yang rendah sering terjadi. Penyebab utama gastritis kronis tipe B adalah infeksi kronis oleh Helicobacter pylori. Faktor etiologi gastritis kronis lainnya adalah asupan alkohol yang berlebihan, merokok, dan refluks empedu kronis dengan kofaktor Helicobacter pylori (Prince, 2005: 423).
Gastritis kronis tipe B secara maksimal melibatkan bagian antrum, yang merupakan tempat predileksi Helicobacter pylori. Kasus-kasus dini memperlihatkan sebukan limfoplasmasitik pada mukosa lambung superfisial. Infeksi aktif Helicobacter pylori hampir selalu berhubungan dengan munculnya nertrofil, baik pada lamina propria ataupun pada kelenjar mukus antrum. Pada saat lesi berkembang, peradangan meluas yang meliputi mukosa dalam dan korpus lambung. Keterlibatan mukosa bagian dalam menyebabkan destruksi kelenjar mukus antrum dan metaplasia intestinal (gastritis atrofik kronis tipe B) (Chandrasoma, 2005 : 523).
Pada 60-70% pasien, didapatkan Helicobacter pylori pada pemeriksaan histologis atau kultur biopsi. Pada banyak pasien yang tidak didapati organisme ini, pemeriksaan serologisnya memperlihatkan antibodi terhadap Helicobacter pylori, yang menunjukkan sudah ada infeksi Helicobacter pylori sebelumnya (Suyono, 2001).
Helicobacter pylori adalah organisme yang kecil dan melengkung, seperti vibrio, yang muncul pada lapisan mukus permukaan yang menutupi permukaan epitel dan lumen kelenjar. Bakteri ini merupakan bakteri gram negatif yang menyerang sel permukaan, menyebabkan deskuamari sel yang dipercepat dan menimbulkan respon sel radang kronis pada mukosa lambung. Helicobacter pylori ditemukan lebih dari 90% dari hasil biopsi yang menunjukkan gastritis kronis.  Organisme ini dapat dilihat pada irisan rutin, tetapi lebih jelas dengan pewarnaan perak Steiner atau Giemsa. Keberadaan Helicobacter pylori berkaitan erat dengan peradangan aktif dengan netrofil. Organisme dapat tidak ditemukan pada pasien gastritis akut inaktif, terutama bila terjadi metaplasia intestinal (Chandrasoma, 2005 : 524).
3.             Gastritis kronis tipe AB
Gastritis kronis tipe AB merupakan gastritis kronik yang distribusi anatominya menyebar keseluruh gaster. Penyebaran ke arah korpus tersebut cendrung meningkat dengan bertambahnya usia (Suyono, 2001: 130).
2        Anatomi dan Fisiologi
2.1   Anatomi Lambung
Lambung terletak oblik dari kiri ke kanan menyilang di abdomen atas tepat di daerah epigastrik, di bawah diafragma dan di depan pankreas. Dalam keadaan kosong, lambung menyerupai tabung bentuk J, dan bila penuh, berbentuk seperti buah pir raksasa. Kapasitas normal lambung adalah 1 samapi 2 L (Prince, 2005). Secara anatomis lambung terdiri atas empat bagian, yaitu: cardia, fundus, body atau corpus, dan pylorus. Adapun secara histologis, lambung terdiri atas beberapa lapisan, yaitu: mukosa, submukosa, muskularis mukosa, dan serosa. Lambung berhubungan dengan usofagus melalui orifisium atau kardia dan dengan duodenum melalui orifisium pilorik (Ganong, 2001).
Mukosa lambung mengandung banyak kelenjar dalam. Di daerah pilorus dan kardia, kelenjar menyekresikan mukus. Di korpus lambung, termasuk fundus, kelenjar mengandung sel parietal (oksintik), yang menyekresikan asam hidroklorida dan faktor intrinsik, dan chief cell (sel zimogen, sel peptik), yang mensekresikan pepsinogen. Sekresi-sekresi ini bercampur dengan mukus yang disekresikan oleh sel-sel di leher kelenjar. Beberapa kelenjar bermuara keruang bersamaan (gastric pit) yang kemudian terbuka kepermukaan mukosa. Mukus juga disekresikan bersama HCO3- oleh sel-sel mukus di permukaan epitel antara kelenjar-kelenjar (Ganong, 2001).
Persarafan lambung sepenuhnya berasal dari sistem saraf otonom. Suplai saraf parasimpatis untuk lambung dan duodenum dihantarkan ke dan dari abdomen melalui saraf vagus. Persarafan simpatis melalui saraf splanchnicus major dan ganglia seliaka. Serabut-serabut aferen menghantarkan impuls nyeri yang dirangsang oleh peregangan, kontraksi otot, serta peradangan, dan dirasakan di daerah epigastrium abdomen. Serabut-serabut eferen simpatis menghambat motilitas dan sekresi lambung. Pleksus saraf mienterikus (auerbach) dan submukosa (meissner) membentuk persarafan intrinsik dinding lambung dan mengoordinasi aktivitas motorik dan sekresi mukosa lambung (Prince, 2005).
Seluruh suplai darah di lambung dan pankreas (serta hati, empedu, dan limpa) terutama berasal dari arteri siliaka atau trunkus seliakus, yang mempercabangkan cabang-cabang yang menyuplai kurvatura minor dan mayor. Dua cabang arteri yang penting dalam klinis adalah arteria gastroduodenalis  dan arteria pankreatikoduodenalis (retroduodenalis) yang berjalan sepanjang bulbus posterior duodenum (Prince, 2005).
2.2  Fisiologi Lambung
Lambung merupakan bagian dari saluran pencernaan yang berbentuk seperti kantung, dapat berdilatasi, dan berfungsi mencerna makanan dibantu oleh asam klorida (HCl) dan enzim-enzim seperti pepsin, renin, dan lipase. Lambung memiliki dua fungsi utama, yaitu fungsi pencernaan dan fungsi motorik. Sebagai fungsi pencernaan dan sekresi, yaitu pencernaan protein oleh pepsin dan HCl, sintesis dan pelepasan gastrin yang dipengaruhi oleh protein yang dimakan, sekresi mukus yang membentuk selubung dan melindungi lambung serta sebagai pelumas sehingga makanan lebih mudah diangkut, sekresi bikarbonat bersama dengan sekresi gel mukus yang berperan sebagai barier dari asam lumen dan pepsin. Fungsi motorik lambung terdiri atas penyimpanan makanan sampai makanan dapat diproses dalam duodenum, pencampuran makanan dengan asam lambung, hingga membentuk suatu kimus, dan pengosongan makanan dari lambung ke dalam usus dengan kecepatan yang sesuai untuk pencernaan dan absorbsi dalam usus halus (Prince, 2005).
Lambung akan mensekresikan asam klorida (HCl) atau asam lambung dan enzim untuk mencerna makanan. Lambung memiliki motilitas khusus untuk gerakan pencampuran makanan yang dicerna dan cairan lambung, untuk membentuk cairan padat yang dinamakan kimus kemudian dikosongkan ke duodenum. Sel-sel lambung setiap hari mensekresikan sekitar 2500 ml cairan lambung yang mengandung berbagai zat, diantaranya adalah HCl dan pepsinogen. HCl membunuh sebagian besar bakteri yang masuk, membantu pencernaan protein, menghasilkan pH yang diperlukan pepsin untuk mencerna protein, serta merangsang empedu dan cairan pankreas. Asam lambung cukup pekat untuk menyebabkan kerusakan jaringan, tetapi pada orang normal mukosa lambung tidak mengalami iritasi atau tercerna karena sebagian cairan lambung mengandung mukus, yang merupakan faktor perlindungan lambung (Ganong, 2001).
Sekresi asam lambung dipengaruhi oleh kerja saraf dan hormon. Sistem saraf yang bekerja yatu saraf pusat dan saraf otonom, yakni saraf simpatis dan parasimpatis. Adapun hormon yang bekerja antara lain adalah hormon gastrin, asetilkolin, dan histamin. Terdapat tiga fase yang menyebabkan sekresi asam lambung. Pertama, fase sefalik, sekresi asam lambung terjadi meskipun makanan belum masuk lambung, akibat memikirkan atau merasakan makanan. Kedua, fase gastrik, ketika makanan masuk lambung akan merangsang mekanisme sekresi asam lambung yang berlangsung selama beberapa jam, selama makanan masih berada di dalam lambung. Ketiga, fase intestinal, proses sekresi asam lambung terjadi ketika makanan mengenai mukosa usus. Produksi asam lambung akan tetap berlangsung meskipun dalam kondisi tidur. Kebiasaan makan yang teratur sangat penting bagi sekresi asam lambung karena kondisi tersebut memudahkan lambung mengenali waktu makan sehingga produksi lambung terkontrol (Ganong, 2001).

2.3        Faktor-faktor Penyebab Gastritis
2.3.1   Pola Makan
Menurut Yayuk Farida Baliwati (2004), terjadinya gastritis dapat disebabkan oleh pola makan yang tidak baik dan tidak teratur, yaitu frekuensi makan, jenis, dan jumlah makanan, sehingga lambung menjadi sensitif bila asam lambung meningkat.
1.      Frekuensi Makan
Frekuensi makan adalah jumlah makan dalam sehari-hari baik kualitatif dan kuantitatif.  Secara alamiah makanan diolah dalam tubuh melalui alat-alat pencernaan mulai dari mulut sampai usus halus. Lama makanan dalam lambung tergantung sifat dan jenis makanan. Jika rata-rata, umumnya lambung kosong antara 3-4 jam. Maka jadwal makan ini pun menyesuaikan dengan kosongnya lambung (Okviani, 2011).
Orang yang memiliki pola makan tidak teratur mudah terserang penyakit gastritis. Pada saat perut harus diisi, tapi dibiarkan kosong, atau ditunda pengisiannya, asam lambung akan mencerna lapisan mukosa lambung, sehingga timbul rasa nyeri (Ester, 2001).
Secara alami lambung akan terus memproduksi asam lambung setiap waktu dalam jumlah yang kecil, setelah 4-6 jam sesudah makan biasanya kadar glukosa dalam darah telah banyak terserap dan terpakai sehingga tubuh akan merasakan lapar dan pada saat itu jumlah asam lambung terstimulasi. Bila seseorang telat makan sampai 2-3 jam, maka asam lambung yang diproduksi semakin banyak dan berlebih sehingga dapat mengiritasi mukosa lambung serta menimbulkan rasa nyeri di seitar epigastrium (Baliwati, 2004).
Kebiasaan makan tidak teratur ini akan membuat lambung sulit untuk beradaptasi. Jika hal itu berlangsung lama, produksi asam lambung akan berlebihan sehingga dapat mengiritasi dinding mukosa pada lambung dan dapat berlanjut menjadi tukak peptik. Hal tersebut dapat menyebabkan rasa perih dan mual. Gejala tersebut bisa naik ke kerongkongan yang menimbulkan rasa panas terbakar (Nadesul, 2005). Produksi asam lambung diantaranya dipengaruhi oleh pengaturan sefalik, yaitu pengaturan oleh otak. Adanya makanan dalam mulut secara refleks akan merangsang sekresi asam lambung. Pada manusia, melihat dan memikirkan makanan dapat merangsang sekresi asam lambung (Ganong 2001).
2.      Jenis Makanan
Jenis makanan adalah variasi bahan makanan yang kalau dimakan, dicerna, dan diserap akan menghasilkan paling sedikit susunan menu sehat dan seimbang. Menyediakan variasi makanan bergantung pada orangnya, makanan tertentu dapat menyebabkan gangguan pencernaan, seperti halnya makanan pedas (Okviani, 2011).
Mengkonsumsi makanan pedas secara berlebihan akan merangsang sistem pencernaan, terutama lambung dan usus untuk berkontraksi. Hal ini akan mengakibatkan rasa panas dan nyeri di ulu hati yang disertai dengan mual dan muntah. Gejala tersebut membuat penderita makin berkurang nafsu makannya. Bila kebiasaan mengkonsumsi makanan pedas lebih dari satu kali dalam seminggu selama minimal 6 bulan dibiarkan terus-menerus dapat menyebabkan iritasi pada lambung yang disebut dengan gastritis (Okviani, 2011).
Gastritis dapat disebabkan pula dari hasil makanan yang tidak cocok. Makanan tertentu yang dapat menyebabkan penyakit gastritis, seperti buah yang masih mentah, daging mentah, kari, dan makanan yang banyak mengandung krim atau mentega. Bukan berarti makanan ini tidak dapat dicerna, melainkan karena lambung membutuhkan waktu yang labih lama untuk mencerna makanan tadi dan lambat meneruskannya kebagian usus selebih-nya. Akibatnya, isi lambung dan asam lambung tinggal di dalam lambung untuk waktu yang lama sebelum diteruskan ke dalam duodenum dan asam yang dikeluarkan menyebabkan rasa panas di ulu hati dan dapat mengiritasi (Iskandar, 2009).
3.      Porsi Makan
Porsi atau jumlah merupakan suatu ukuran maupun takaran makanan yang dikonsumsi pada tiap kali makan. Setiap orang harus makan makanan dalam jumlah benar sebagai bahan bakar untuk semua kebutuhan tubuh. Jika konsumsi makanan berlebihan, kelebihannya akan disimpan di dalam tubuh dan menyebabkan obesitas (kegemukan). Selain itu, Makanan dalam porsi besar dapat menyebabkan refluks isi lambung, yang pada akhirnya membuat kekuatan dinding lambung menurun. Kondisi seperti ini dapat menimbulkan peradangan atau luka pada lambung (Baliwati, 2004).
3.2   Kopi
Menurut Warianto (2011), kopi adalah minuman yang terdiri dari berbagai jenis bahan dan senyawa kimia; termasuk lemak, karbohidrat, asam amino, asam nabati yang disebut dengan fenol, vitamin dan mineral.
Kopi diketahui merangsang lambung untuk memproduksi asam lambung sehingga menciptakan lingkungan yang lebih asam dan dapat mengiritasi lambung. Ada dua unsur yang bisa mempengaruhi kesehatan perut dan lapisan lambung, yaitu kafein dan asam chlorogenic.
Studi yang diterbitkan dalam Gastroenterology menemukan bahwa berbagai faktor seperti keasaman, kafein atau kandungan mineral lain dalam kopi bisa memicu tingginya asam lambung. Sehingga tidak ada komponen tunggal yang harus bertanggung jawab (Anonim, 2011).
Kafein dapat menimbulkan perangsangan terhadap susunan saraf pusat (otak), sistem pernapasan, serta sistem pembuluh darah dan jantung. Oleh sebab itu tidak heran setiap minum kopi dalam jumlah wajar (1-3 cangkir), tubuh kita terasa segar, bergairah, daya pikir lebih cepat, tidak mudah lelah atau mengantuk. Kafein dapat menyebabkan stimulasi sistem saraf pusat sehingga dapat meningkatkan aktivitas lambung dan sekresi hormon gastrin pada lambung dan pepsin. Hormon gastrin yang dikeluarkan oleh lambung mempunyai efek sekresi getah lambung yang sangat asam dari bagian fundus lambung. Sekresi asam yang meningkat dapat menyebabkan iritasi dan inflamasi pada mukosa lambung (Okviani, 2011).
Jadi, gangguan pencernaan yang rentan dimiliki oleh orang yang sering minum kopi adalah gastritis (peradangan pada lapisan lambung). Beberapa orang yang memilliki gangguan pencernaan dan ketidaknyamanan di perut atau lambung biasanya disaranakan untuk menghindari atau membatasi minum kopi agar kondisinya tidak bertambah parah (Warianto, 2011).
3.3   Teh
Hasil penelitian Hiromi Shinya, MD., dalam buku “The Miracle of Enzyme menemukan bahwa orang-orang Jepang yang meminum teh kaya antioksidan lebih dari dua gelas secara teratur, sering menderita penyakit yang disebut gastritis. Sebagai contoh Teh Hijau, yang mengandung banyak antioksidan dapat membunuh bakteri dan memiliki efek antioksidan berjenis polifenol yang mencegah atau menetralisasi efek radikal bebas yang merusak. Namun, jika beberapa antioksidan bersatu akan membentuk suatu zat yang disebut tannin. Tannin inilah yang menyebabkan beberapa buah dan tumbuh-tumbuhan memiliki rasa sepat dan mudah teroksidasi (Shinya, 2008).
Tannin merupakan suatu senyawa kimia yang memiliki afinitas tinggi terhadap protein pada mukosa dan sel epitel mukosa (selaput lendir yang melapisi lambung). Akibatnya terjadi proses dimana membran mukosa akan mengikat lebih kuat dan menjadi kurang permeabel. Proses tersebut menyebabkan peningkatan proteksi mukosa terhadap mikroorganisme dan zat kimia iritan. Dosis tinggi tannin menyebabkan efek tersebut berlebih sehingga dapat mengakibatkan iritasi pada membran mukosa usus (Shinya, 2008).
Selain itu apabila Tannin terkena air panas atau udara dapat dengan mudah berubah menjadi asam tanat. Asam tanat ini juga berfungsi membekukan protein mukosa lambung. Asam tanat akan mengiritasi mukosa lambung perlahan-lahan sehingga sel-sel mukosa lambung menjadi atrofi. Hal inilah yang menyebabkan orang tersebut menderita berbagai masalah lambung, seperti gastritis atrofi, ulcus peptic, hingga mengarah pada keganasan lambung (Shinya, 2008).
3.4   Rokok
Rokok adalah silinder kertas yang berisi daun tembakau cacah. Dalam sebatang rokok, terkandung berbagai zat-zat kimia berbahaya yang berperan seperti racun. Dalam asap rokok yang disulut, terdapat kandungan zat-zat kimia berbahaya seperti gas karbon monoksida, nitrogen oksida, amonia, benzene, methanol, perylene, hidrogen sianida, akrolein, asetilen, bensaldehid, arsen, benzopyrene, urethane, coumarine, ortocresol, nitrosamin, nikotin, tar, dan lain-lain. Selain nikotin, peningkatan paparan hidrokarbon, oksigen radikal, dan substansi racun lainnya turut bertanggung jawab pada berbagai dampak rokok terhadap kesehatan (Budiyanto, 2010).
Efek rokok pada saluran gastrointdstinal antara lain melemahkan katup esofagus dan pilorus, meningkatkan refluks, mengubah kondisi alami dalam lambung, menghambat sekresi bikarbonat pankreas, mempercepat pengosongan cairan lambung, dan menurunkan pH duodenum. Sekresi asam lambung meningkat sebagai respon atas sekresi gastrin atau asetilkolin. Selain itu, rokok juga mempengaruhi kemampuan cimetidine (obat penghambat asam lambung) dan obat-obatan lainnya dalam menurunkan asam lambung pada malam hari, dimana hal tersebut memegang peranan penting dalam proses timbulnya peradangan pada mukosa lambung. Rokok dapat mengganggu faktor defensif lambung (menurunkan sekresi bikarbonat dan aliran darah di mukosa), memperburuk peradangan, dan berkaitan erat dengan komplikasi tambahan karena infeksi H. pylori. Merokok juga dapat menghambat penyembuhan spontan dan meningkatkan risiko kekambuhan tukak peptik (Beyer, 2004).
Kebiasaan merokok menambah sekresi asam lambung, yang mengakibatkan bagi perokok menderita penyakit lambung (gastritis) sampai tukak lambung. Penyembuhan berbagai penyakit di saluran cerna juga lebih sulit selama orang tersebut tidak berhenti merokok (Departemen Kesehatan RI, 2001).
3.5   AINS ( Anti Inflamasi Non Steroid)
Obat-obatan yang sering dihubungkan dengan gastritis erosif adalah aspirin dan sebagian besar obat anti inflamasi non steroid (Suyono, 2001).
Asam asetil salisilat lebih dikenal sebagai asetosal atau aspirin. Asam asetil salisilat merupakan obat anti inflamasi nonsteroid (OAINS) turunan asam karboksilat derivat asam salisilat yang dapat dipakai secara sistemik. Golongan aspirin ini dapat dilihat pada gambar 1.

 










Gambar 2.1. Obat Analgetik Anti Inflamasi Non Steroid (obat AINS) (Arifa, 2008)
Obat AINS adalah salah satu golongan obat besar yang secara kimia heterogen menghambat aktivitas siklooksigenase, menyebabkan penurunan sintesis prostaglandin dan prekursor tromboksan dari asam arakhidonat. Siklooksigenase merupakan enzim yang penting untuk pembentukkan prostaglandin dari asam arakhidonat. Prostaglandin mukosa merupakan salah satu faktor defensive mukosa lambung yang amat penting, selain menghambat produksi prostaglandin mukosa, aspirin dan obat antiinflamasi nonsteriod tertentu dapat merusak mukosa secara topikal, kerusakan topikal terjadi karena kandungan asam dalam obat tersebut bersifat korosif sehingga dapat merusak sel-sel epitel mukosa. Pemberian aspirin dan obat antiinflamasi nonsteroid juga dapat menurunkan sekresi bikarbonat dan mukus oleh lambung, sehingga kemampuan faktor defensif terganggu. Jika pemakaian obat-obat tersebut hanya sesekali maka kemungkinan terjadinya masalah lambung akan kecil. Tapi jika pemakaiannya dilakukan secara terus menerus atau berlebihan dapat mengakibatkan gastritis dan ulkus peptikum. Pemakaian setiap hari selama minimal 3 bulan dapat menyebabkan gastritis (Rosniyanti, 2010).
3.6   Stress
Stress merupakan reaksi fisik, mental, dan kimia dari tubuh terhadap situasi yang menakutkan, mengejutkan, membingungkan, membahayakan dan merisaukan seseorang. Definisi lain menyebutkan bahwa stress merupakan ketidakmampuan mengatasi ancaman yang dihadapi mental, fisik, emosional, dan spiritual manusia, yang pada suatu saat dapat mempengaruhi kesehatan fisik manusia tersebut (Potter, 2005).
1.      Stress Psikis
Produksi asam lambung akan meningkat pada keadaan stress, misalnya pada beban kerja berat, panik dan tergesa-gesa. Kadar asam lambung yang meningkat dapat mengiritasi mukosa lambung dan jika hal ini dibiarkan, lama-kelamaan dapat menyebabkan terjadinya gastritis. Bagi sebagian orang, keadaan stres umumnya tidak dapat dihindari. Oleh karena itu, maka kuncinya adalah mengendalikannya secara efektif dengan cara diet sesuai dengan kebutuhan nutrisi, istirahat cukup, olah raga teratur dan relaksasi yang cukup (Friscaan, 2010).
2.      Stress Fisik
Stress fisik akibat pembedahan besar, luka trauma, luka bakar, refluks empedu atau infeksi berat dapat menyebabkan gastritis dan juga ulkus serta pendarahan pada lambung. Perawatan terhadap kanker seperti kemoterapi dan radiasi dapat mengakibatkan peradangan pada dinding lambung yang selanjutnya dapat berkembang menjadi gastritis dan ulkus peptik. Ketika tubuh terkena sejumlah kecil radiasi, kerusakan yang terjadi biasanya sementara, tapi dalam dosis besar akan mengakibatkan kerusakan tersebut menjadi permanen dan dapat mengikis dinding lambung serta merusak kelenjar-kelenjar penghasil asam lambung (Anonim, 2010).
Refluks dari empedu juga dapat menyebabkan gastritis. Bile (empedu) adalah cairan yang membantu mencerna lemak-lemak dalam tubuh. Cairan ini diproduksi oleh hati. Ketika dilepaskan, empedu akan melewati serangkaian saluran kecil dan menuju ke usus kecil. Dalam kondisi normal, sebuah otot sphincter yang berbentuk seperti cincin (pyloric valve) akan mencegah empedu mengalir balik ke dalam lambung. Tapi jika katup ini tidak bekerja dengan benar, maka empedu akan masuk ke dalam lambung dan mengakibatkan peradangan dan gastritis.
3.7   Alkohol
Alkohol sangat berperangaruh terhadap makhluk hidup, terutama dengan kemampuannya sebagai pelarut lipida. Kemampuannya melarutkan lipida yang terdapat dalam membran sel memungkinkannya cepat masuk ke dalam sel-sel dan menghancurkan struktur sel tersebut. Oleh karena itu alkohol dianggap toksik atau racun. Alkohol yang terdapat dalam minuman seperti bir, anggur, dan minuman keras lainnya terdapat dalam bentuk etil alkohol atau etanol (Almatsier, 2002).
Organ tubuh yang berperan besar dalam metabolisme alkohol adalah lambung dan hati, oleh karena itu efek dari kebiasaan mengkonsumsi alkohol dalam jangka panjang tidak hanya berupa kerusakan hati atau sirosis, tetapi juga kerusakan lambung. Dalam jumlah sedikit, alkohol merangsang produksi asam lambung berlebih, nafsu makan berkurang, dan mual, sedangkan dalam jumlah banyak, alkohol dapat mengiritasi mukosa lambung dan duodenum. Konsumsi alkohol berlebihan dapat merusak mukosa lambung, memperburuk gejala tukak peptik, dan mengganggu penyembuhan tukak peptik. Alkohol mengakibatkan menurunnya kesanggupan mencerna dan menyerap makanan karena ketidakcukupan enzim pankreas dan perubahan morfologi serta fisiologi mukosa gastrointestinal (Beyer 2004).
3.8   Helicobacter pylori
Helicobacter pylori adalah kuman Gram negatif, basil yang berbentuk kurva dan batang. Helicobacter pylori adalah suatu bakteri yang menyebabkan peradangan lapisan lambung yang kronis (gastritis) pada manusia. Sebagian besar populasi di dunia terinfeksi oleh bakteri Helicobacter pylori yang hidup di bagian dalam lapisan mukosa yang melapisi dinding lambung. Walaupun tidak sepenuhnya dimengerti bagaimana bakteri tersebut dapat ditularkan, namun diperkirakan penularan tersebut terjadi melalui jalur oral atau akibat memakan makanan atau minuman yang terkontaminasi oleh bakteri ini. Infeksi Helicobacter pylori sering terjadi pada masa kanak-kanak dan dapat bertahan seumur hidup jika tidak dilakukan perawatan. Infeksi Helicobacter pylori ini sekarang diketahui sebagai penyebab utama terjadinya ulkus peptikum dan penyebab tersering terjadinya gastritis (Prince, 2005).
3.9   Usia
Usia tua memiliki resiko yang lebih tinggi untuk menderita gastritis dibandingkan dengan usia muda. Hal ini menunjukkan bahwa seiring dengan bertambahnya usia mukosa gaster cenderung menjadi tipis sehingga lebih cenderung memiliki infeksi Helicobacter Pylory atau gangguan autoimun daripada orang yang lebih muda. Sebaliknya,jika mengenai usia muda biasanya lebih berhubungan dengan pola hidup yang tidak sehat.
Kejadian gastritis kronik, terutama gastritis kronik antrum meningkat sesuai dengan peningkatan usia. Di negara Barat, populasi yang usianya pada dekade ke-6 hampir 80% menderita gastritis kronik dan menjadi 100% pada saat usia mencapai dekade ke-7. Selain mikroba dan proses imunologis, faktor lain juga berpengaruh terhadap patogenesis Gastritis adalah refluks kronik cairan penereatotilien, empedu dan lisolesitin (Suyono, 2001).
4        Patofisiologi
Patofisiologi dasar dari gastritis adalah gangguan keseimbangan faktor agresif (asam lambung dan pepsin) dan faktor defensif (ketahanan mukosa). Penggunaan aspirin atau obat anti inflamasi non steroid (AINS) lainnya, obat-obatan kortikosteroid, penyalahgunaan alkohol, menelan substansi erosif, merokok, atau kombinasi dari faktor-faktor tersebut dapat mengancam ketahanan mukosa lambung. Gastritis dapat menimbulkan gejala berupa nyeri, sakit, atau ketidaknyamanan yang terpusat pada perut bagian atas (Brunner, 2000).
Gaster memiliki lapisan epitel mukosa yang secara konstan terpapar oleh berbagai faktor endogen yang dapat mempengaruhi integritas mukosanya, seperti asam lambung, pepsinogen/pepsin dan garam empedu. Sedangkan faktor eksogennya adalah obat-obatan, alkohol dan bakteri yang dapat merusak integritas epitel mukosa lambung, misalnya Helicobacter pylori. Oleh karena itu, gaster memiliki dua faktor yang sangat melindungi integritas mukosanya,yaitu faktor defensif dan faktor agresif. Faktor defensif meliputi produksi mukus yang didalamnya terdapat prostaglandin yang memiliki peran penting baik dalam mempertahankan maupun menjaga integritas mukosa lambung, kemudian sel-sel epitel yang bekerja mentransport ion untuk memelihara pH intraseluler dan produksi asam bikarbonat serta sistem mikrovaskuler yang ada dilapisan subepitelial sebagai komponen utama yang menyediakan ion HCO3- sebagai penetral asam lambung dan memberikan suplai mikronutrien dan oksigenasi yang adekuat saat menghilangkan efek toksik metabolik yang merusak mukosa lambung. Gastritis terjadi sebagai akibat dari mekanisme pelindung ini hilang atau rusak, sehingga dinding lambung tidak memiliki pelindung terhadap asam lambung (Prince, 2005)
Menurut Brunner dan Suddart (2000 : 187), perjalanan penyakit gastritis bisa dilihat dari skema gambar di bawah ini :
F. Imunologi, F. Bakteriologik, Faktor lain
 

Infiltrasi sel-sel radang

Atropi progresif sel epitel kelenjar mukosa
 

Kehilangan sel parietal dan chief cell
 

Produksi asam klorida, pepsin dan faktor intrinsik menurun
 

Dinding lambung menipis
 

Kerusakan mukosa lambung

Nyeri ulu hati, Mual, Muntah, Anoreksia

Gambar 2.2 Phatway gastritis

Pada skema di atas, dijelaskan bahwa obat-obatan, alkohol, pola makan yang tidak teratur, stress, dan lain-lain dapat merusak mukosa lambung, mengganggu pertahanan mukosa lambung, dan memungkinkan difusi kembali asam pepsin ke dalam jaringan lambung, hal ini menimbulkan peradangan. Respons mukosa lambung terhadap kebanyakan penyebab iritasi tersebut adalah dengan regenerasi mukosa, karena itu gangguan-gangguan tersebut seringkali menghilang dengan sendirinya. Dengan iritasi yang terus menerus, jaringan menjadi meradang dan dapat terjadi perdarahan. Masuknya zat-zat seperti asam dan basa kuat yang bersifat korosif mengakibatkan peradangan dan nekrosis pada dinding lambung. Nekrosis dapat mengakibatkan perforasi dinding lambung dengan akibat berikutnya perdarahan dan peritonitis.
Gastritis kronik dapat menimbulkan keadaan atropi kelenjar-kelenjar lambung dan keadaan mukosa terdapat bercak-bercak penebalan berwarna abu-abu atau kehijauan (gastritis atropik). Hilangnya mukosa lambung akhirnya akan mengakibatkan berkurangnya sekresi lambung dan timbulnya anemia pernisiosa. Gastritis atropik boleh jadi merupakan pendahuluan untuk karsinoma lambung. Gastritis kronik dapat pula terjadi bersamaan dengan ulkus peptikum (Suyono, 2001).
5        Manifestasi Klinis
Sindrom dispepsia berupa berupa nyeri epigastrium, mual, kembung dan muntah merupakan salah satu keluhan yang sering muncul. Ditemukan pula perdarahan saluran cerna berupa hematemesis dan melena, kemudian disesuaikan dengan tanda-tanda anemia pasca perdarahan. Biasanya, jika dilakukan anamnesis lebih dalam, tanpa riwayat penggunaan obat-obatan atau bahan kimia tertentu (Suyono, 2001).
Ulserasi superfisial dapat terjadi dan dapat menimbulkan hemoragi, ketidaknyamanan abdomen (dengan sakit kepala, mual dan anoreksia) dan dapat terjadi muntah, serta cegukan beberapa pasien adalah asimtomatik, kolik dan diare dapat terjadi jika makanan pengiritasi tidak dimuntahkan, tetapi jika sudah mencapai usus besar, pasien biasanya sembuh kira-kira dalam sehari meskipun nafsu makan kurang atau menurun selama 2 sampai 3 hari (Ester, 2001).
6        Komplikasi Gastritis
Menurut Hirlan dalam Suyono (2001: 129), komplikasi yang timbul pada gastritis, yaitu perdarahan saluran cerna bagian atas (SCBA) berupa hematemesis dan melena, berakhir dengan syok hemoragik, terjadi ulkus, kalau prosesnya hebat dan jarang terjadi perforasi.
Jika dibiarkan tidak terawat, gastritis akan dapat menyebabkan ulkus peptikum dan pendarahan pada lambung. Beberapa bentuk gastritis kronis dapat meningkatkan resiko kanker lambung, terutama jika terjadi penipisan secara terus menerus pada dinding lambung dan perubahan pada sel-sel di dinding lambung (Prince, 2005).
Kebanyakan kanker lambung adalah adenocarcinoma, yang bermula pada sel-sel kelenjar dalam mukosa. Adenocarcinoma tipe 1 biasanya terjadi akibat infeksi Helicobacter pylori. Kanker jenis lain yang terkait dengan infeksi akibat Helicobacter pylori adalah MALT (mucosa associated lyphoid tissue) lymphomas, kanker ini berkembang secara perlahan pada jaringan sistem kekebalan pada dinding lambung. Kanker jenis ini dapat disembuhkan bila ditemukan pada tahap awal (Anonim, 2010).
7        Penatalaksanaan Gastritis
Menurut Hirlan dalam Suyono (2001: 129), penatalaksanaan medikal untuk gastritis akut adalah dengan menghilangkan etiologinya, diet lambung dengan posisi kecil dan sering. Obat-obatan ditujukan untuk mengatur sekresi asam lambung berupa antagonis reseptor H2 inhibition pompa proton, antikolinergik dan antasid juga ditujukan sebagai sifoprotektor berupa sukralfat dan prostaglandin.
Penatalaksanaan sebaiknya meliputi pencegahan terhadap setiap pasien dengan resiko tinggi, pengobatan terhadap penyakit yang mendasari dan menghentikan obat yang dapat menjadi kuasa dan pengobatan suportif. Pencegahan dapat dilakukan dengan pemberian antasida dan antagonis H2 sehingga mencapai pH lambung 4. Meskipun hasilnya masih jadi perdebatan, tetapi pada umumnya tetap dianjurkan.
Pencegahan ini terutama bagi pasien yang menderita penyakit dengan keadaan klinis yang berat. Untuk pengguna aspirin atau anti inflamasi nonsteroid pencegahan yang terbaik adalah dengan Misaprostol, atau Derivat Prostaglandin Mukosa.
Pemberian antasida, antagonis H2 dan sukralfat tetap dianjurkan walaupun efek teraupetiknya masih diragukan. Biasanya perdarahan akan segera berhenti bila keadaan si pasien membaik dan lesi mukosa akan segera normal kembali, pada sebagian pasien biasa mengancam jiwa. Tindakan-tindakan itu misalnya dengan endoskopi skleroterapi, embolisasi arteri gastrika kiri atau gastrektomi. Gastrektomi sebaiknya dilakukan hanya atas dasar abolut (Suyono, 2001).
Penatalaksanaan untuk gastritis kronis adalah ditandai oleh progesif epitel kelenjar disertai sel parietal dan chief cell. Dinding lambung menjadi tipis dan mukosa mempunyai permukaan yang rata, Gastritis kronis ini digolongkan menjadi dua kategori tipe A (altrofik atau fundal) dan tipe B (antral).
Pengobatan gastritis kronis bervariasi, tergantung pada penyakit yang dicurigai. Bila terdapat ulkus duodenum, dapat diberikan antibiotik untuk membatasi Helicobacter Pylory. Namun demikian, lesi tidak selalu muncul dengan gastritis kronis alkohol dan obat yang diketahui mengiritasi lambung harus dihindari. Bila terjadi anemia defisiensi besi (yang disebabkan oleh perdarahan kronis), maka penyakit ini harus diobati, pada anemia pernisiosa harus diberi pengobatan vitamin B12 dan terapi yang sesuai (Chandrasoma, 2005 : 522).
Gastritis kronis diatasi dengan memodifikasi diet dan meningkatkan istirahat, mengurangi dan memulai farmakoterapi. Helicobacter Pylory dapat diatasi dengan antibiotik (seperti Tetrasiklin atau Amoxicillin) dan garam bismut (Pepto bismol). Pasien dengan gastritis tipe A biasanya mengalami malabsorbsi vitamin B12 (Chandrasoma, 2005 : 522).
8        Diagnosis
Untuk menegakkan diagnosa gastritis, dilakukan dengan berbagai  macam tes, diantaranya :
1.      Tes Darah
Tes darah untuk melihat adanya antibodi terhadap serangan Helicobacter pylori. Hasil test yang positif menunjukkan  bahwa seseorang pernah mengalami kontak dengan bakteri Helicobacter pylori dalam hidupnya, tetapi keadaan tersebut bukan berarti seseorang telah terinfeksi Helicobacter pylori. Tes darah juga dapat digunakan untuk mengecek terjadinya anemia yang mungkin saja disebabkan oleh perdarahan karena gastritis (Anonim, 2010).
2.      Breath Test
Test ini menggunakan tinja sebagai sampel dan ditujukan untuk mengetahui apakah ada infeksi Helicobacter pylori dalam tubuh seseorang.
3.      Stool Test
Uji ini digunakan untuk mengetahui adanya Helicobacter pylori dalam sampel tinja seseorang. Hasil test yang positif menunjukkan orang tersebut terinfeksi Helicobacter pylori. Biasanya dokter juga menguji adanya darah dalam tinja yang menandakan adanya perdarahan dalam lambung karena gastritis.
4.      Rontgen
Test ini dimaksudkan untuk melihat adanya kelainan pada lambung yang dapat dilihat dengan sinar X. Biasanya akan diminta menelan cairan barium terlebih dahulu sebelum dilakukan rontgen. Cairan ini akan melapisi saluran cerna dan akan terlihat lebih jelas ketika di rontgen.
5.      Endoskopi
Test ini dimaksudkan untuk melihat adanya kelainan pada lambung yang mungkin tidak dapat dilihat dengan sinar X. Tes ini dilakukan dengan cara memasukkan sebuah selang kecil yang fleksibel (endoskop) melalui mulut dan masuk ke dalam esophagus, lambung dan bagian atas usus kecil. Tenggorokan akan terlebih dahulu dimatirasakan (anestesi), sebelum endoskop dimasukkan untuk memastikan pasien merasa nyaman menjalani tes ini. Jika ada jaringan dalam saluran cerna yang terlihat mencurigakan, dokter akan mengambil sedikit sampel (biopsy) dari jaringan tersebut. Sampel itu kemudian akan dibawa ke laboratorium untuk diperiksa. Tes ini memakan waktu kurang lebih 20 sampai 30 menit. Pasien biasanya tidak langsung disuruh pulang ketika tes ini selesai, tetapi harus menunggu sampai efek dari anestesi menghilang, kurang lebih satu atau dua jam. Hampir tidak ada resiko akibat tes ini. Komplikasi yang sering terjadi adalah rasa tidak nyaman pada tenggorokan akibat menelan endoskop (Anonim,2010).


Daftar pustaka

Almatsier. 2002. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama
Anonimous, 2010. Gastritis. http://bluebear.student.umm.ac.id/2010/07/14/-gastritis-magh. Diakses tanggal 04 Januari 2012, 09:04 WIB.
Anonimous, 2011. Kenapa Setelah Minum Kopi Perut Terasa Sakit. http://cupu.web.id/kenapa-setelah-minum-kopi-perut-terasa-sakait/. Diakses tanggal 04 Januari 2012, 09:13 WIB.
Arifa, Amelia D. 2008. Uji Efek Antiulcer. http://etd.eprints.ums.ac.id/-3374/1/K100040224.pdf. Diakses tanggal 04 Januari 2012, 09:45 WIB.
Arifianto. 2009. Gastritis. http://tonyarf87.blogdpot.com/2009/02/-gastritis.htm. Diakses tanggal 04 Januari 2012, 09:05 WIB.
Arikunto, Suharsimi. 2006. Prosedur Penelitiaan Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta: PT. Asdi Mahasatya
Baliwati, Yayak F. 2004. Pengantar Pangan dan Gizi. Jakarta: Penebar Swadaya
Beyer. 2004. Medical Nutrition Therapy for Upper Gastrointestinal Tract Disorders. Philadelphia: Saunders
Brunner dan Suddart. 2000. Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta: EGC
Budiana. 2006. Gambaran Pengetahuan Klien Tentang Gastritis. http://www.scribd.com/doc/41520350/Gambaran-Pengetahuan-Klien-Tentang-Gastritis/. Diakses tanggal 05 Januari 2012, 08:25 WIB.
Budiyanto, Carko. 2010. Merokok Memang Ternyata Nikmat. http://nina9yuli.student.umm.ac.id/2010/02/11/Merokok-Memang-Ternyata-Nikmat/. Diakses tanggal 05 Januari 2012, 07:55 WIB.
Chandrasoma, Parakrama. 2005. Ringkasan Patologi Anatomi Edisi 2. Jakarta: EGC
Departemen Kesehatan RI. 2001. Rencana Pengembangan Lima Tahun VI Bidang Kesehatan. http://www.depkes.go.id. Diakses tanggal 05 Januari 2012, 08:35 WIB.
Ester, Monica. 2001. Pedoman Perawatan Pasien. Jakarta: EGC
Fahrial, Ari. 2009. Sakit Gastritis, Penyakit Menahun Yang Membandel. Koran Indonesia Sehat.
Friscaan. 2010. Semua Tentang Maag. http://www.medicalera.com/index.php ?option=com myblog. Diakses tanggal 04 Januari 2012, 13:55 WIB.
Ganong, William F. 2001. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Jakarta: EGC
Guyton, Arthur C., John E. Hall. 2001. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Jakarta: EGC
Iskandar, H. Yul. 2009. Saluran Cerna. Jakarta: Gramedia
Kelly, Gregory. 2010. Perceived Stress Scale. http://healthsceneinvestigation.com/files/2010/07/Percived-Stress-Scale.pdf.  Diakses tanggal 14 Februarh 2012, 09:15 WIB.
Nadesul. 2005. Sakit Lambung, Bagaimana Terjadinya. http://www.kompas.com/Sakit-Lambung-Bagaimana/Terjadinya. Diakses tanggal 04 Januari 2012, 14:13 WIB.
Notoatmodjo, Soekidjo. 2005. Metodologi Penelitiaan Kesehatan. Jakarta: PT. Asdi Mahasatya
Nursalam. 2008. Konsep dan Penerapan Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan. Jakarta: Salemba Medika
Okviani, Wati. 2011. Pola Makan Gastritis. http://www.library.upnvj.ac.id/-pdf/2s1keperawatan/205312047/.pdf Diakses tanggal 10 Januari 2012, 11:10 WIB.
Potter, Patricia A. 2005. Buku Ajar Fundamental Keperawatan : Konsep, Proses dan Praktek. Jakarta: EGC
Prince, Sylvia A., Lorraine McCarty Wilson. 2005. Patofisiologi : Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Jakarta: EGC
Rafani. 2009. Askep Anak dengan Gastritis. http://www.rafani.co.id/Askep-Anak-dengan-Gastritis/. Diakses tanggal 10 Januari 2012, 11:21 WIB.
Riyanto, H. 2008. Gastritis. http://www.wordpress.co.id/gastritis/ Diakses tanggal 10 Januari 2012, 11:17 WIB.
Rosniyanti. 2010. AINS. http://doctorology.net/?cat=169 Diakses tanggal 10 Januari 2012, 11:23 WIB.
Sabiston, David C. 1995. Buku Ajar Bedah. Jakarta: EGC
Setiadi. 2007. Konsep dan Penulisan Riset Keperawatan. Yogyakarta: Graha Ilmu
Shinya, Hiromi. 2008. The Miracle of Enzyme : Self-Healing Program. Bandung: Qanita
Supriatna. 2009. Hati-hati dengan Rasa Nyeri di Lambung. http://suaramerdeka.cetak/2009/05/22/14265/Hati-hati-dengan-Rasa-Nyeri-Lambung. Diakses tanggal 13 Januari 2012, 15:10 WIB.
Suyono, Slamet. 2001. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: Balai Penerbitan FKUI
Thompson. 2010. Alcoholism. http://emedicine.medscape.com/article/285913 overview Diakses tanggal 10 Januari 2012, 11:37 WIB.
Warianto, Chaidar. 2011. Minum Kopi Bisa Berakibat Gangguan Pencernaan. http://www.griyawisata.com/pdf. php ? url pdf = 28640 Diakses tanggal 11 Januari 2012, 09:05 WIB.
Wijoyo, M. Padmiarso. 2009. 15 Ramuan Penyembuh Maag. Jakarta: Bee Media Indonesia